Selasa, 04 November 2014

Sang Kreator Kayu (Cerpen)

      Aku terkurung dalam sebuah pasar. dengan membawa peti-peti kayu bekas penyangga panggung yang nyaris terbuang. Semula aku tak tahu, "Harus diapakan kayu-kayu itu? Tapi aku ayunkan saja palu, membongkarnya tanpa basa-basi. Aku bayangkan menabuh irama, seperti kebiasaanku sebagai drummer di sebuah band di Tangerang. Ketukan-ketukan palu aku anggap nada.
      Dalam kebisingan Pasar Lama Tangerang, aku terus mengolah kayu menjadi sesuatu. Semuanya mengalir begitu saja, tanpa skenario yang pasti. Aku beraksi, diiringi keriuhan para pedagang yang menjajakan barang, suara parau pembeli menawar harga semurah-murahnya. Suara hentakan golok yang menghempas batok-batok kelapa, dan gerobak-gerobak sayur yang melintas secara bergegas.
     Berminggu-mingu tangan-tangan lincahku terus bergerak, siang dan malam. Tapi mata dan telinga tetap peka terhadap sekelilingku yang pengap dan bau. Sampai aku tahu pasti kalau jam 10 malam ada gadis cantik yang lewat. Jam 2 pagi, ada 4 wanita dengan dandanan menor melintas. Jam 4 pagi, tiga dara muda jalan beriringan, menuju kos-kosan di belakang pasar.
     Waktu terus berlanjut pagi,  segerombolan anak SD melewatiku. Dan seorang dari mereka bertanya padaku,

      "Lagi bikin kandang ayam Om?"
    "Bukan dik", jawabku seraya menghentikan irama palu.Aku tersenyum pada mereka, seperti pada anak-anakku sendiri. Dan mereka kembali melanjutkan perjalanan ke sekolahnya.
     Kayu-kayu itu aku susun satu persatu, aku rangkai dan kutancapkan paku sebagai perekat. Tangan-tanganku seolah tak mau berhenti merakit papan-papan itu. Sesekali aku berhenti, sekedar buat menghisap sebatang rokok dan menyeruput secangkir kopi.

                                                                             ***
Di suatu siang,
     Brak, brak! Tiba-tiba ada seseorang yang menginjak kayu-kayuku, beberapa dan yang patah. pemuda berkepala botak berhenti persis di hadapanku dengan terengah-engah.
        Woi! Mau ngapain luh? selidikku. Tapi belum sempat ia menjawab, tiba-tiba seorang pria tinggi besar berambut gondrong melayangkan tinjunya ke wajah lelaki botak berkaos oblong itu. Lalu si botak yang berperawakan sedang itu membalas dengan geram. Terjadilah perkelahian brutal. Orang-orang yang ada di sekitar situ berkerumun.  dan melongok, ingin tahu apa yang terjadi.Si tinggi besar berjaket blue jeans, mencabut sebilah belati. Dan mengancam,
       "Gue tusuk luh!
       "Emang gue takut?", timpal si botak, sambil memungut balok kayu yang tadi terinjak.
      "Berhenti! teriakku, masih menggenggam palu. Walaupun badanku kurus, tak surut nyali untuk melerai baku hantam mereka.
      "Eh... lu jangan ikut campur, ini urusan gue sama dia!" sambil tangan kirinya menunjuk si botak.
     "Eh! Elu-elu kalo berantem jangan di sini, menggangu kepentingan umum tahu? udah bikin kacau kerjaan  gue!" teriakku, sambil mengacungkan palu.
    Lalu mereka mereka melangkah dengan lesu. Si gondrong berjaket jeans menyarungkan belatinya. Sementara si botak melepas balok kayunya. Mereka menerobos kerumunan bapak-bapak, ibu-ibu dan para pedagang yang menonton mereka.
      "Minggir! Teriak si gondrong . Orang-orang di sekitarnya bergeser ke samping, memberi jalan buat lelaki seram itu.
        "Bubar! bubar! Emang kita topeng monyet?", sambar si botak, kesal dengan penonton liar yang merubunginya. Kerumunan pun bubar, menjauh dari TKP.
         Setelah itu aku tak tahu apa yang terjadi dengan mereka. Aku memang tidak mau tahu, karena perkelahian sudah bias terjadi di sini. Aku masih memegang palu, dan tersenyum. Sambil bergumam, "Hai palu, ternyata selain engkau bisa menghasilkan nada, bisa menghentikan orang berkelahi juga?"
                                                               
                                                                     ***
         Cat warna-warni menari-nari di beberapa rangkaian yang sudah terbentuk. Ada yang berbentuk pipih, lingkaran, banyak juga yang tak beraturan, mengikuti potongan aslinya. Salah satunya ada yang seperti badak. waktu sedang membuatnya, aku ingat nasib badak di Ujung Kulon sana, yang semakin terjepit.Patung badakku memang tak seindah Tuhan mendesain badak sesungguhnya. Culanya aku ganti dengan gergaji yang diposisikan terbalik, yang tajamnya berada di atas.
          Seandainya cula-cula badak itu diganti dengan gergaji, apakah orang-orang rakus itu tetap memburu? Cula bagi badak, ibarat kuku. Bagaiman kalau kuku nkita dicabut, sementara kita masih hidup? Dalam keadaan terluka, sang badak ditinggalkan begitu saja, sungguh merana. Cula-cula mereka dikorbankan untuk satu kata, uang.
         Aku meramu dan meramu limbah kayu menjadi sesuatu yang baru, sesuai bisikan seniku. ada yang berbentuk lingkaran, di tengah-tengahnya ada patung tubuh wanita seksi tanpa kepala(yang biasa dipakai buat memajang pakaian di mall-mall). Di bagian dada aku beri lingakaran-lingkaran bersusun, seperti sasaran panah. Di samping kirinya kutulis si Pedosipilia (plesetan dari pedophilia), dan di kanannya kugambar seorang bocah sedang dikejar-kejar setan. Maksudnya, penyakit pedophilia merebak dimana-mana, dan anak-anak yang jadi korbannya. Demi memuaskan seks yang tidak pada tempatnya.
        Aku membayangkan bagaimana jika anak-anakku sendiri yang jadi korban? Yang pasti, betapa hancur hati orangtuanya. Bagaikan diiris-iris sembilu, karena si jantung hati akan mengalami kerusakan fisik maupun mental. Sungguh tega orang-orang yang memanfaatkan anak-anak untuk memuaskan nafsu iblis mereka. Dadaku tersengal-sengal membayangkan kebejatan mereka.
      Di antara suasana pasar yang ramai, hatiku berdesing, protes dengan kondisi politik yang semakin hari kian tak karuan menjelang pemilu. Di dalam pasar pun, begitu banyak gambar-gambar partai dan foto-foto caleg terpampang di dinding-dinding kios. Bebdera-bendera partai pun, bertebaran dimana-mana. Suatu pemandangan yang memuakkan.
       Di rangkaian pipih, yang kususun papan secara horisontal, tapi kubuat memanjang, hampir menyentuh lantai. Kutulis nama samaranku sebagai judul. Kutorehkan uneg-uneg yang membara dalam hati. Kalimat-kalimat sakti berbentuk puisi itu adalah:

                                            ROBINWOOD

 Merayakan sisa sampah peti kayu
yang terbuang pasca kenyang syahwat
Kuliner urursan perut, terpojok di sudut jorok, pada sampahan akhir zaman.
Memunguti, melucuti, mengkontruksi kembali
Memukuli, tak juga mensakiti semut/kecoa/belatung/cacing/kelabang yang juga mahluk eksotis
             temanku... hehey,
             Mahluk spiritual yang kepengen terus belajar jadi manusia
             Ini bukan soal tindakan go-green atau
             Kelakuan environment act, bagiku ini sesuatu yang biasa-biasa saja kok
             Semua manusia berbuat... bukan hanya Robinwood.
      Belantara kota adalah hutan belantara buas, saat Tarzan politik bergelayutan
      pada rindang pohon uang, singa dewan berakrobat di belantara hidup,
      menguburi akal sehat, membunuh kemerdekaan azasi dengan tempelengan
      perjanjian baru yang selalu dibuat baru setiap waktu.
      Dan seterusnya...

             Aku menamakan diriku Robinwood, dalam setiap karyaku. Aku berharap bisa menjadi pahlawan kayu, seperti halnya Robinhood menjadi pembela rakyat kecil. Semoga para Tarzan-Tarzan politik tak lagi bergelayutan pada rindang pohon uang. Tetatapi bergelayutan pada rindangnya pohon kemanusiaan. Dan memanusiakan manusia dengan selayaknya. Singa-singa dewan juga jangan terus-terusan berakrobat, membunuh kemerdekaan hak azasi.

Tamat


Serang, menjelang pemilu 2014