Jumat, 27 Februari 2015

Selepas Pengajian Dhuha (catatan sabtu, 28 Februari 2015)

      Seperti biasa, Sabtu ini (28/02) aku menghadiri Majelis Dhuha di Masjid Almadinah di belakang CBD Ciledug, Tangerang Selatan. Sebuah pengajian mingguan yang didahului dengan sholat dhuha, zikir dan mendengarkan ceramah dari kyai.

    Ceramah dari sang kyai belum selesai, tapi rasa kantuk mulai merayapi mataku, Lalu kulangkahkan kaki ke sebuah warung kopi tenda di sebelah kiri masjid. Aku minum kopi, merokok, dan melahap sepotong bakpao yang ada di meja, lalu membeli pisang molen dan tahu goreng seharga Rp 5000 kepada tukang gorengan gerobak di sebelahku. Aku bersalaman dengan pembeli yang baru datang. Dan  ngobrol dengan mereka, sebagai upaya mengakrabkan diri dengan sesama jamaah. 

    Tak ada keangkuhan di lingkungan ini, semua jamaah menunjukkan sikap bersahabat. Sepertinya mereka semua langsung mempraktekkan ilmu yang telah didapatkannya, "Hablum minallah dan hamblum minan nas", yaitu berhubungan baik kepada Tuhannya dan berhubungan baik kepada sesamanya. Alangkah indahnya negeri ini jika sikap seperti ini diterapkan di berbagai lini. Tak ada gontok-gontokkan yang silih berganti, karena semuanya saling menyayangi.

      Langit agak mendung, tapi udara terasa gerah, mungkin mau hujan? Udaranya terasa ngelekeb... mungkin Bahasa Indonesianya lembab, maksudnya kelembaban udaranya sedang tinggi. Setelah membayar kopi dan bakpao aku menuju tunggangan yang ada di parkiran. Sudah banyak jamaah yang meninggalkan masjid, tapi parkiran cukup ramai, ada yang sedang menunggu kawan, dan masih ada yang ngobrol seraya mengeluarkan motor.

     Aku mendekati kuda besiku yang sedang menanti dipojokkan. Aku mulai memakai jaket, dan mempersiapkan segala sesuatunya untuk berkendara. Jarak kira-kira 3 meter dariku ada seorang gadis berdiri anggun. Ia berbusana muslim, dengan atasan bermotif kembang-kembang, jilbabnya dan rok panjang berwarna pink. Tak lama kemudian kawannya menghampiri dengan motor bebek hitam, dan memboncengnya. Si anggun berlalu, rok panjang pink-nya berjuntai-juntai diterpa angin. Setelah menaruh lembaran uang kertas ke kotak kardus yang sedang dipegang security, motor mereka melaju meninggalkan gerbang, lantas hilang dari pandangan. Subhanallah... begitu anggun wanita itu. Mudah-mudahan kita bertemu lagi ya... bisikku dalam hati.

Selasa, 17 Februari 2015

Jam 9 lebih

     Jam 9 lebih, pagi yang cerah buat ukuran musim hujan. Aku memacu kuda besiku, melewati gundukan-gundukan tanah yang berbaris rapi, Pemakaman Tanah Kusir. Kulihat makam Sang Proklamator tampak anggun dengan rumah minangnya yang disekat kaca-kaca bening, sungguh elok sekali. mobil-mobil tampak merayap, hanya sepeda motor yang bisa melenggang.

     Kubergegas melewati jalan tikus, melewati Kecamatan Kebayoran Lama, lalu memotong lewat Bungur dan  berhenti sebelum Taman Gandaria, sekadar buat ngobrol dan ketawa-ketiwi bersama tukang kopi keliling serta beberapa sopir yang sedang menunggu majikan.

     Lalu aku menuju Gedung LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), di Jl. Gatot Subroto. Menurutku gedung ini terlihat kokoh tapi aneh, karena berbentuk empat persegi panjang, tapi bagian belakang berbentuk seperti tabung besar yang menempel. Keseluruhannya berkeramik putih. Aku memasuki gerbang, lalu memarkir sepeda motor. Setelah itu bertanya kepada security, letak perpustakaan, dan mereka menunjukkannya. sesampainya di Perpustakaan, aku disuruh mengisi buku tamu yang berwujud digital. Kemudian menaruh tas di loker lalu ditunjukkan kearah lift.

       Aku memasuki lift, dalam sekejap aku sudah sampai lantai 4 Perpustakaan LIPI, rak-rak alumunium berwarna abu-abu dan buku-buku tua berjejer dengan rapih. Ruangan ini terkesan klasik, dan terkesan angker, rasanya bulu kudukku merinding dibuatnya, ditambah lagi pengunjung yang sepi. Rasanya aku seperti terdampar dalam jaman VOC.

       Kusingkirkan perasaan macam-macam yang menggelayuti, lalu aku menuruni tangga berkeramik putih berilling alumunium menuju lantai 3, memburu majalah baru yang masih hangat-hangat kuku. Majalah-majalah berada di tengah-tengah ruangan yang amat luas, rak-rak alumunium abu-abu berbentuk segi empat, mengelilingi sofa cokelat tua yang besar dan membal beserta meja kayu bertaplak putih.

     Kutengok majalah-majalah dalam dan luar negeri. Kubaca majalah dari negeri ginseng, nama majalahnya Korea. Majalah ini bertemakan tentang pernak-pernik kebudayaan Korea, seperti beladiri taekwondo yang menjadi salah satu ikon negeri tersebut. Tarian dan busana juga menyemarakkan majalah berbahasa Inggris itu.
     
     Sambil membaca majalah, dari kejauhan pandanganku tertuju tiga dara yang sedang berdiri di belakang mesin pencarian. Gadis yang paling mungil berjilbab kelabu, kemeja kembang-kembang berwarna lembut.  Gadis yang paling tinggi berjilbab cokelat muda dan berswiter cokelat tua. Dan yang paling gemuk , tidak memakai jilbab, tapi stelan kaos panjang garis-garis hitam abu-abu dan celana jeans. Mereka konsentrasi mencari kode jenis buku /ensiklopedia yang sedang dicari.

     Bosan duduk di sofa, aku melangkah ke meja besar berbentuk oval yang terbuat dari kayu jati. Kubaca majalah sambil melirik ke kanan dan kiri di seberangku ada gadis cantik berbaju merah dan bercelana jeans ketatyang serius membaca buku. Rambut hitam bergelombangnya yang sebahu dikuncir satu.

     Waktu beranjak siang, dan azan Zhuhur telah berkumandang. Buru-buru aku ke mesjid, menuju lift, turun ke lantai 1, lalu berjalan kaki, kira-kira jaraknya 200 meter. Sehabis sholat lalu mengambil tas di loker, selepas itu pulang
      

Senin, 16 Februari 2015

Adaptasi

     Aku memulai mengadaptasikan diriku untuk kembali menjadi surveyor, berkendara ke beberapa tempat di area Jakarta Selatan dan Tangsel. Aku memulainya dari Pasar Minggu, Pondok Cabe, Ciputat, Jl.Senopati, dan Jl. Gatot Subroto. Entah... aku menjalaninya terasa berat. Aku yang notabene dulu berkutat sebagai pekerja lapangan, kini harus kehilangan kesaktiannya. Aku kok jadi melempem? Aku sekarang tak tangguh, mudah lelah, dan mudah menyerah menghadapi macet, sehingga lebih memilih mesjid untuk beristirahat, lantas pulang. Kalau manusia saja kesulitan beradaptasi, apalagi hewan?

     Aku kok begini? Perasaan aku masih muda? masih 38 tahun, dan belum pantas pensiun. Apakah semangat hidupku sedang mati suri? Entahlah... semuanya sudah berubah, berubah kawan, suasana, situasi, kondisi dan  jaman. Kita mau tak mau setiap ganti era, ganti pula gaya dan tradisinya. Ganti waktu, ganti pula kesempatan yang akan datang. 

Senin, 09 Februari 2015

Jakarta, siang 10 Februari 2015

     Azan zhuhur telah berkumandang, tanda hari berada di tengah-tengah siang. Langit baru saja berhenti meneteskan air matanya, setelah 2 hari terus menerus menyirami bumi, dan mentari baru berani menampakkan wajahnya. 
       Orang-orang kota mengutuk hari karena hujan yang tak henti-henti. Banjir melanda Jakarta. Kali Ciliwung meluap, istana  negara pun ikut terendam. Jl.R.Suprapto, Jl.S.Parman, daerah Cempaka Putih dan Kelapa Gading Kulihat beritanya di TV, kemarin sore saja air sudah sepinggang orang dewasa, apalagi sekarang? 

     Apakah langit lagi ngambek? apakah awan lagi senewen? Karena masyarakat modern lebih senang membangun mall ketimbang melindungi hutan. Pohon-pohon di kota tak diberi napas, karena batangnya ditempel semen dan beton, sehingga mudah sekali tumbang, ditambah lagi sampah-sampah yang dibuang sembarangan. 
        Kata budayawan Sujiwo Tejo dalam suatu acara di TV, "Tidak ada itu bencana alam, yang ada adalah bencana manusia. Kalau terjadi longsor, tanah turun mencari keseimbangannya, karena pohon-pohon ditebang. Jadi bukan  salah alam, tapi salah manusianya."

Sabtu, 07 Februari 2015

Bosan

       Bosan aku di sini, berkutat dengan komputer yang sama, saban hari berada di lingkungan yang sama, dan bergaul dengan orang yang itu-itu saja. Aku merasa hidupku statis, stagnan, jalan di tempat bak katak dalam tempurung. 

       Jenuh membelengguku, hingga aku berontak dalam diri. Aku ingin pergi jauh ke negeri entah berantah. Pergilah engkau pekat, jangan menggangguku. Ingin kususuri jalan, walau tanpa tujuan , yang penting hati senang bertemu orang-orang baru, jalan yang tak pernah dilewati, atau sekedar nongkrong di warung kopi yang belum pernah dijajaki. Kuda besiku, bosankah kau menemanuku?semoga tidak, sobat.

Kamis, 05 Februari 2015

Apa Kabar Kawan?

     Apa kabar kawan? Di sini, aku baik-baik saja, melihat kota yang paling lengkap di negeri ini. Kota yang segalanya serba wah... baik pusat perbelanjaannya, infrastrukturnya, transportasinya.
     Aku sedang mengetik di sebuah perpustakaan, sekedar menjentikkan jari di papan keyboard sebuah komputer.
     Di luar sana mendung, membuat aku khawatir kalau bepergian, mengingat musim hujan yang sedang  berada di puncaknya. 

Iri (catatan 15 Oktober, 2014)

         Rasa iri membenak di hati. Mudah-mudahan ini adalah iri yang positif. Bagaimana tidak? Helvy Tiana Rosa dan Asma nadia yang umurnya tidak jauh dariku. Mereka telah menelurkan lebih dari 50  buku dan ratusan cerpen. . Helvy Tiana Rosa lahir di tahun 1970 dan Asma Nadia lahir 1972. Lhaa... aku yang lahir di tahun 1976 belum satu buku pun yang diterbitkan?
       Kalau melihat prestasi kakak beradik itu (Helvy Tiana Rosa dan Asma Nadia) rasanya geregetan, aku ingin membuat tulisan yang bisa mengguncang dunia. Apakah aku konyol? aku sendiri tak tahu. Yang jelas, aku pernah mendengar  kutipan kata-kata bijak, yang diucapakan  Deddy Corbuzier dalam sebuah tayangan di televisi,  "Kadang orang di sekitar kita mencoba memupuskan harapan kita. Ketika dunia menyuruh anda menyerah. Harapan berkata, coba sekali lagi.". Kata-kata itulah yang membuat saya bangkit. Move on kata anak-anak jaman sekarang.

Rabu, 04 Februari 2015

Diary 5 Februari 2015, jam 3 pagi

     Gak terasa gaung tahun baru 2015 udah memudar, sekarang udah tanggal 5 Februari 2015. Gak terasa man! udah tanggal segini... gila kaaan? gue ngerasa belom ngapa-ngapain. Eh... 2015 udah berjalan selama sebulan... gila man! gilaaa!

     Catatan takdir, sekarang gue menjalani titian angka 38 tahun. Usia yang orang bilang,  "Tinggal nyicipin enaknya hidup", punya anak bini, kehidupan yang mumpuni. Tapi apa mau dikata... hidup gue begini, ya begini... gak mungkin jalanin hidup orang laen, begono!

    "Biarkan hidup ini mengalir seperti air," begitulah kata pepatah orang banyak. Tapi gak selalu mengalir secara normal, kadang ada yang mengalir kayak banjir bandang, deresnya gak alang kepalang, kadang juga kayak kencing anak orok, encret-encretan.

    Bagaimana juga man, masih banyak yang kudu gue syukurin. Masih untung gue gak tinggal di kolong jembatan. Masih untung gue masih bisa makan, ketemu nasi, lauk pauk and lalapan. Gue gak kuat kalo ngebayangin orang yang tinggal di kolong jembatan sono. Mereka tidur beralaskan koran, yang tiap hari dibayangin kekerasan preman. Gue gak kuat man!

    Jadi, walaupun bagaimana juga masih banyak yang bisa disyukurin, terutama dari hal-hal yang dekat, yang nempel di badan. Gue punya sepasang bola mata, yang dengannya gue bisa ngeliat cewek-cewek cakep, pemandangan yang endah-endah (saking indahnya). Ya itulah kawan... itu baru dari mata, belom dari nikmatnya punya tangan, kaki, lidah, rambut, kuping, gigi, dan masih banyak lagi. Coba lo bayangin kalo lo gak punya gigi? lah kalo kondangan gak bakali bisa ngerasain nikmatnya semur daging, mantaaap! tul gak? ternyata syukur adalah jawaban.

    Gue inget temen gue, si Asep, yang petuahnya gak pernah ilang dari ingetan gue, " Dalam hidup ini, yang terpenting adalah satu, rasa syukur kepadaNya."

    Hari makin mendekati shubuh, udah dulu yaa... mo mandi, biar seger, ger... geeerrr...



Ingin Melompat

     Rasanya aku ingin melompat... melintasi awan. Aku ingin tulisan-tulisanku menembus bumi dan mencakar langit ketidak mungkinan. Aku harus maju, melangkah, melangkah dan terus menikmati setiap apa yang aku tulis, aku suarakan lewat penaku. 

     Tak sabar rasanya ingin melewati penulis-penulis muda yang sudah besar dan terkenal lebih dulu. Apalagi yang usianya lebih muda dariku, seperti Tere Liye, Raditya Dika dan Agnes Donovar. Membuat diri ini ingin melompat, melompat dan melompat melebihi mereka, karena start-ku tertinggal. Tapi menurut nasehat teman-temanku, "Sukses tak mengenal kata umur". Tidak ada kata terlambat untuk terus berkarya. Insya Allah aku kan terus menulis.  Wallahu a'lam Bisshawab.

Tiada Kata

     Tiada kata yang keluar dari mulut. Hanya hatiku yang komat-kamit tak menentu. Siang ini di sebuah perpustakaan, aku masih mengetik dengan tangan yang lemas. Tubuhku seakan tak bertenaga. Karena apa? aku pun tak tahu.

     Yang jelas aku sedang dirundung kegalauan. Kegalauan atas banyak hal, seperti halnya jodoh yang tak kunjung datang, karir yang begitu-begitu saja, yang membuat ayahku sering marah-marah karena tak sabar melihat kesuksesanku. Tak sabar melihat anaknya hidup mandiri. tak lagi mendompleng orang tuanya. Pikiranku berkata, "Bagaimanakah memecah kebuntuan?" Tunjukkanlah jalan, Tuhan... doaku dalam hati.