Sabtu, 25 April 2015

"Libur Kecil Kaum Kusam"

     Tak terasa dua minggu sudah aku bekerja di Percetakan Sida Warna. Walau Hari Jumat kemarin aku tak masuk, karena sakit. Badanku terasa remuk redam. Mungkin terlalu over kerja, memenuhi orderan yang sudah mendekati dateline. Ya namanya juga resiko kerja, sudah biasa.
     Hari ini, Sabtu 25 april 2015, aku pulang sekitar jam 5 sore, membuat aku sedikit bebas untuk menghibur diri. Makan pecel lele dan nongkrong 3 jam di warnet. Mumpung abis dapat uang makan, hitung-hitung kayak lagunya Iwan Fals, "Libur Kecil Kaum Kusam", hehehe.
     Walau tak kupingkiri, aku sering tak mensyukuri nikmat-Nya. Kini aku mencoba menancapkan kata, "Alhamdulilah", dalam hatiku. segala puji bagi-Nya dan tak ada sekutu bagi-Nya. Terimakasih ya Robb.

Minggu, 19 April 2015

Seminggu Sudah

    Seminggu sudah aku bekerja di sebuah percetakan kecil, "Sida Warna", di Bilangan Kebayoran lama, Pinggiran jakarta selatan. Seumur hidup tak terpikirkan di otakku, kalau akan bekerja di percetakan. Mungkin ini cuma batu loncatan, tapi aku menjalaninya dengan sepenuh hati. belajar untuk terus bersyukur dan berfikir positif, Insya Allah semuanya akan baik-baik saja. 
      Hidup memang aneh, yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Tapi yang tak diharap menghampiri. Jalani saja, itulah yang aku lakukan. Memulai pekerjaan-pekerjaan sederhana, seperti melipat, mensteples box kertas, nge-print  dokumen, dan wira-wiri ke percetakan rekanan adalah agendaku seminggu ini. 
     Ternyata bekerja di percetakan asyik juga ya? Aku menikmatinya, sama halnya waktu aku masih kerja di restoran dan perusahaan riset. Semuanya asyik, kalau dinikmati. Terkadang gaji urutan kesekian, kalau hati sudah merasa nyaman. Dan anehnya aku tidak keberatan ketika sang bos menyuruh aku lembur selama tiga hari berturut-turut sampai jam 10 malam. Badan memang pegal-pegal, tapi kan bisa diakali? dengan minum jamu pegal linu misalnya.  Tapi jangan lupa, uang lemburnya ya Bos! hehehe...

Rabu, 08 April 2015

"Patang Ewu Le!"

      Seperti biasa aku menyusuri sekitar Kali Pesanggrahan untuk berolahraga. Dengan setelan kaos oblong putih plus celana bola biru aku bejalan santai dengan bertelanjang kaki. Kali Pesanggrahan ini diapit oleh dua jalan hotmix (beton) yang cukup lebar, di sekitarnya ada danau-danau tempat penampungan air. Antisipasi Pemda DKI dalam mencegah banjir saat air kali meluap.
      Hatiku langsung tertuju pada danau yang paling sudut, danau berbentuk segi tiga dengan kedalaman maksimal 6 meter. Anda tau, apa sebabnya? Karena di sana ada tukang nasi uduk yang lumayan enak dan murah, hehehe. Danau ini dikelilingi semacam lintasan lari yang terbuat dari konblock. di belakang konblock ada tanaman-tanaman pelindung yang belum lama ditanam, sehingga belum rimbun. Di belakang konblock itulah langganan nasi udukku berada. Warung beratap terpal seadanya ini, cuma terdiri dari meja kayu bertaplak plastik bening, bangkunya berada di seberang konblock, beralas tanah berkerikil yang diselingi rumput-rumput. Posisinya berada di belakang danau.
      "Makan Bude!", pesanku. "Pake apa Le?". Pake orek, bihun, sama tahu isi". "Iki Le (ini nak)", sang bude menyodorkanku piring besar berwarna cokelat berisi pesananku. Hanya berisi setengahnya, karena bude tau, makanku tak pernah banyak. Bude sibuk melayani pembeli yang lain, maka aku mengambil sendiri air minum. Aku tuang air teh hangat dari teko alumunium ke gelas berwarna cokelat. Lalu aku duduk di tanggul danau.
        sambil menikmati suasana, enak juga. Kulihat orang-orang yang melintasiku, ada yang berlari-lari kecil, berjalan, ada yang berusia tua taupun muda. Ada ibu-ibu, bapak-bapak, dan ada juga anak-anak yang mengekori orangtuanya yang sedang jalan pagi. Mentari  mulai menyembul keluar, tanda pagi ini semakin cerah. Tak terasa nasi udukku telah habis. "Berapa Bude?",  tanyaku. "Patang ewu Le! (Rp 4000,- nak)", jawab Bude.  "Murah sekali harganya", benakku. Bude memang selalu berbahasa Jawa padaku, untungnya aku sedikit-sedikit mengerti Bahasa Jawa.
       Setelah acara sarapan selesai, aku melangkah menuju danau yang paling lebar. Menyusuri hotmix kembali, aku menuju ke arah barat. Di sebelah kanan kiriku ada paku bumi yang belum dipasang. Benda yang bentuknya seperti pinsil beton ini  jumlahnya ratusan, bahkan ribuan buah.


     
        

Senin, 06 April 2015

Surat buat Ibu 1 (puisi)

Bu ...
Aku takkan pernah bisa membalas budimu
takkan pernah bisa menyayangimu melebihi sayangmu padaku
Ku takkan pernah bisa menandingi pemberian tulusmu padaku

Aku yang tengil ini, seringkali merasa sudah berbakti padamu
padahal... tidak, belum apa-apa dan belum seberapa,
belum seujung kukumu
Aku yang sering tak mengacuhkanmu, cenderung melupakanmu
Maafkan aku bu...

Maafkan aku bu... yang sampai hari ini, sampai detik ini....
belum jadi anak yang membanggakan,
cenderung jadi anak yang sering merepotkan
dan menyebalkan

Maafkan aku bu...
Engkau banting tulang, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala,
memanggul beban berat keluarga 
sedangkan, seringkali aku keras kepala

Saat aku jauh darimu... engkaulah radar terhebat
yang dapat mendeteksi hatiku,
begitu besar rasa cemasmu memikirkan aku
Sedangkan aku?
Aku sering tak peduli, dan tak ambil pusing bagaimana rasa khawatirmu

Maaf bu... aku belum bisa jadi anak yang berbakti
aku bukan anak hebat yang engkau miliki
sedangkan engkau....
Ibu terhebat yang aku miliki, ibu terkuat yang pernah ada
Ibu juara satu sedunia


Geliat Dangdut di D' Academy 2

     Entah kenapa? aku pun tak tahu jawabnya. Belakangan ini aku suka sekali mendengarkan lagu-lagu dangdut, walaupun tak pandai menyanyikannya. Maklum, suaraku fals, hehehe. Atau mungkin gara-gara kompetisi dangdut yang sedang membeliak di TV-TV? Aku juga tak mengerti. Aku hanya penikmat dangdut, bukan kritikusnya.
      Acara DA2 (Dangdut Academy 2) Indosiar  merajai acara musik dangdut di tanah air. Bakat-bakat para penyanyi muda sungguh mengesankan. Bibit-bibit pedangdut profesional bermunculan dari pelosok negeri. Contohnya Ayu, panelis asal Cirebon yang baru berusia 15 tahun dan Ega asal kuningan 16 tahun sudah lolos ke babak 15 Besar. Walaupun tak lolos ke 10 besar, tapi Ayu patut diacungkan jempol. Karena sudah menyingkirkan ribuan peserta dalam audisi, merupakan suatu kehebatan. 
   Bahkan si kembar Rizki-Ridho (16 tahun) masuk babak 10 besar. Sampai Indosiar memberikan kehormatan pada mereka ke babak 10 besar, jadi 11 besar. Walaupun awalnya mereka tak lolos, tapi Indosiar memberikan pengecualian. Mereka dinilai ikut mengembangkan animo anak-anak muda untuk menyukai musik dangdut. Fans mereka rata-rata anak remaja dan ABG. Dangdut tak lagi identik dengan golongan tua. tapi sekarang dangdut digilai anak-anak muda.Woow!
        Kursi dewan juri diisi Saeful Jamil, yang sering memberikan kritik pedas. Inul Daratista yang sering memberikan hadiah para kontestan ada di sana. Ternyata idolaku juga ada di sana, Mba Iis Dahlia dan Bunda Rita Sugiarto. Dan Uda Beniqno tak ketinggalan ikut ambil bagian dalam penjurian.
       Tak seperti dalam acara-acara musik lainnya, D'Academy 2, menampilkan 4 MC kawakan sekaligus. Antara lain, Irfan Hakim, Rina Nose, Andika Pratama, dan Ramzi. Celotehan-celotehan konyol mereka dijamin bisa mengocok perut para pemirsa. Apalagi ditambah tim penilai aksi panggung dan tata rias-busana Soimah dan Ivan Gunawan sang designer tambun ikut menggelakkan tawa para penonton.
      Musik pengiring, yang gawangi The Band, bukan alang kepalang... hebat nian. Penata lampu juga sangat hebat, para penonton dimanjakan dengan taburan cahaya yang megah. kerlap-kerlipnya membuat hati sumringah. 

Jumat, 03 April 2015

Gedung Cokelat yang Menjulang ke Langit (catatan perjalanan)

      Kira-kira pukul 09.00 WIB, aku mulai menjalani Honda Supra X-125-ku. Niat hati menuju ke Perpustakaan Nasional. Di awali dengan mengucap, "Bismillahi tawaqaltu a'lallahu lahawla wala quwwata illa billah", si kuda besi mulai melaju pelan, keluar dari Gang Warga, di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, tempat kediamanku. Jl.Ulujami Raya aku lewati.
         Sampailah di lampu Merah Perdatam, aku belok ke kanan, kearah Cipulir. Tapi apa yang terjadi? Pasar Cipulir macet parah, antrean panjang segala macam kendaraan tak terelakkan. Bus mayasari Bakti, Metromini, Kopaja, metromini, mobil box, dan lain-lain  berjejer dengan semerawut. Sepeda motor pun harus menunggu lama untuk sekadar merayap, apalagi mobil? Ruas jalan semakin menyusut, karena ada pembangunan jalan Bus Way. Belum lagi gerobak-gerobak yang mengangkut berkodi-kodi pakaian, turut andil menyumbang kemacetan.
      Aku tak mau ambil pusing, itu memang sudah sifatku. Kuambil jalan tikus. Kubelokkan ke kiri sang tunggangan. melewati Jl. Halimah, SMP Negeri 267, atau  anak-anak sekolah menyebutnya "DONAT", yang merupakan singkatan dari Dua Enam Tujuh. Sedikit salah jalan, tapi ketemu juga Jl Swadarma Raya, jalan yang masih menyediakan tempat untuk dokar beroperasi dari jaman kuda gigit besi. 
      Meluncur lurus lalu belok ke kanan, melewati daerah Kebayoran Lama, Permata Hijau, Pejompongan, Dukuh Atas, Terminal dan terowongan Manggarai, Matraman lalu belok kiri. Kantor Kementerian Sosial, berarti aku harus mengendurkan tarikan gas dan siap-siap menekan pedal rem. Karena  di sebelahnya sudah berdiri gedung coklat yang menjulang ke langit, itulah Perpustakaan Nasional.
      Pukul 10.01, aku sudah ada di depan Ruang baca Koran dan majalah di lantai 1. Lalu aku memasukinya dan berjalan ke pojok kiri ruangan, tempat koran-koran berjejer. Kuambil Koran Sindo, , membacanya dengan santai , sambil dielus-elus hawa sejuk AC. Koran tersebut hanya kubaca di berita hiburan dan olahraga saja, sedangkan berita berbau politik aku abaikan  aku memang sejak lama tak tertarik, karena mengulasnya hanya membuat aku sakit kepala.
      Gemuruh hujan terdengar dari ruangan. pukul 12.30 perutku mulai keroncongan, tandanya waktu makan siang sudah menyapa. Kukeluar ruangan, menuju ke pelataran gedung, untuk memastikan, hujan sudah berhenti atau belum? ternyata hujan hanya menyisakan gerimis, dan tak lama pun ia behenti. Rasanya ku sudah bosan di sini, lalu aku menuju tempat parkir motor. Kudapati kuda besiku sudah kuyup. Kuambil lap untuk menyekanya.
      Aku meluncur perlahan, sambil mataku mencari-cari tempat makan yang murah meriah, maklum kantong sedang tipis, hehehe. Ternyata di Jl.Salemba Raya, warung-warung kaki lima tidak kelihatan. Memang minggu-minggu ini di Jakarta banyak penggusuran warung kaki lima oleh Satpol PP. Aku keluar masuk gang di Daerah kenari, "Dimana Warteg-warteg yang dulu ada di sini?", tanya batinku penasaran. Tapi tak kutemukan, yang ada paling-paling Nasi Padang.
         Kuteruskan perjalanan, tibalah aku di Jl. Raden Saleh, melewati hotel-hotel dan kantor-kantor. Tak berapa lama, terdengarlah, "Gedubraak" Suara itu berasal dari motor matic putih  yang ngesot, yang tadi menyalip aku. Sebetulnya sedan hitam di depannya tak mengerem mendadak. Tapi karena melaju kencang di jalan yang basah, si Mio yang ngerem mendadak pun ngesot,  persis 10 cm di belakang sedan mengilat tadi. Tadinya aku mau berhenti, untuk membantu membangunkan sepeda motornya, tapi kan tidak bisa mendadak. Aku pun menepi ... dan posisiku melewati mio putih yang tegeletak tadi. Aku menoleh ke belakang, Tapi penunggang motor matic itu sudah membangunkan kuda besinya. Aku pun menarik gas, dan Supra-X-ku yang sudah hampir berhenti, berjalan lagi.
      Tak lama kemudian, kutemukan warung nasi dekat kantor lamaku, di Jl.Cilosari. Tapi lagi-lagi aku dikagetkan oleh hal-hal yang tak biasa. Warteg langgananku dulu kini telah berubah. Dulu bangunannya semi permanen, tapi sekarang jadi warung tenda sederhana yang nongkrong di atas trotoar. Atapnya terbuat dari terpal biru yang usang, kursinya kursi plastik, mejanya terbuat dari triplek tanpa taplak, kaki mejanya dari kayu yang tak diserut. Di depannya ada gerobak. Sepertinya ini warung darurat, yang kapan pun bisa  dibongkar pasang kalau ada razia. Semuanya memang sudah berubah, orang bilang, "Lain dulu lain sekarang". Dunia pasti berubah.
       Aku makan sepiring nasi, berlaukkan sayur asem, telur dadar, plus tahu goreng berbalut tepung. Setelah kenyang, aku berjalan ke pemilik warung, berapa bu?", tanyaku". "Pake apa?" sang ibu warung balik bertanya. "Pake sayur asem, telor dadar, tahu goreng". "Lapan ribu mas!", jawabnya. "Makasih bu".  Lalu kutunjuk gedung hijau, sepertinya sebuah madrasah. Karena lupa, untuk meyakinkan diri aku bertanya, "Di belakang ini masjid  ya bu". " Iya, motornya bawa aja mas, parkirnya di depan masjid". "Makasih ya bu"  "Ya", si ibu warung mengangguk pelan.
        Setelah sholat. membaca Al Quran sebentar, lalu merebahkan diri  di saff belakang. Mesjid ini mesjid terbuka. Maksudnya tanpa jendela, tanpa daun pintu... hanya di batasi sepotong triplek, temboknya cuma setinggi 1 meter. Aku menikmati angin yang berhembus dari kipas angin di internit.  Sambil rebahan, aku memfoto bagian dalam mesjid. Setelah puas beristirahat, aku pun melangkah pulang.

The End