Selasa, 17 Februari 2015

Jam 9 lebih

     Jam 9 lebih, pagi yang cerah buat ukuran musim hujan. Aku memacu kuda besiku, melewati gundukan-gundukan tanah yang berbaris rapi, Pemakaman Tanah Kusir. Kulihat makam Sang Proklamator tampak anggun dengan rumah minangnya yang disekat kaca-kaca bening, sungguh elok sekali. mobil-mobil tampak merayap, hanya sepeda motor yang bisa melenggang.

     Kubergegas melewati jalan tikus, melewati Kecamatan Kebayoran Lama, lalu memotong lewat Bungur dan  berhenti sebelum Taman Gandaria, sekadar buat ngobrol dan ketawa-ketiwi bersama tukang kopi keliling serta beberapa sopir yang sedang menunggu majikan.

     Lalu aku menuju Gedung LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia), di Jl. Gatot Subroto. Menurutku gedung ini terlihat kokoh tapi aneh, karena berbentuk empat persegi panjang, tapi bagian belakang berbentuk seperti tabung besar yang menempel. Keseluruhannya berkeramik putih. Aku memasuki gerbang, lalu memarkir sepeda motor. Setelah itu bertanya kepada security, letak perpustakaan, dan mereka menunjukkannya. sesampainya di Perpustakaan, aku disuruh mengisi buku tamu yang berwujud digital. Kemudian menaruh tas di loker lalu ditunjukkan kearah lift.

       Aku memasuki lift, dalam sekejap aku sudah sampai lantai 4 Perpustakaan LIPI, rak-rak alumunium berwarna abu-abu dan buku-buku tua berjejer dengan rapih. Ruangan ini terkesan klasik, dan terkesan angker, rasanya bulu kudukku merinding dibuatnya, ditambah lagi pengunjung yang sepi. Rasanya aku seperti terdampar dalam jaman VOC.

       Kusingkirkan perasaan macam-macam yang menggelayuti, lalu aku menuruni tangga berkeramik putih berilling alumunium menuju lantai 3, memburu majalah baru yang masih hangat-hangat kuku. Majalah-majalah berada di tengah-tengah ruangan yang amat luas, rak-rak alumunium abu-abu berbentuk segi empat, mengelilingi sofa cokelat tua yang besar dan membal beserta meja kayu bertaplak putih.

     Kutengok majalah-majalah dalam dan luar negeri. Kubaca majalah dari negeri ginseng, nama majalahnya Korea. Majalah ini bertemakan tentang pernak-pernik kebudayaan Korea, seperti beladiri taekwondo yang menjadi salah satu ikon negeri tersebut. Tarian dan busana juga menyemarakkan majalah berbahasa Inggris itu.
     
     Sambil membaca majalah, dari kejauhan pandanganku tertuju tiga dara yang sedang berdiri di belakang mesin pencarian. Gadis yang paling mungil berjilbab kelabu, kemeja kembang-kembang berwarna lembut.  Gadis yang paling tinggi berjilbab cokelat muda dan berswiter cokelat tua. Dan yang paling gemuk , tidak memakai jilbab, tapi stelan kaos panjang garis-garis hitam abu-abu dan celana jeans. Mereka konsentrasi mencari kode jenis buku /ensiklopedia yang sedang dicari.

     Bosan duduk di sofa, aku melangkah ke meja besar berbentuk oval yang terbuat dari kayu jati. Kubaca majalah sambil melirik ke kanan dan kiri di seberangku ada gadis cantik berbaju merah dan bercelana jeans ketatyang serius membaca buku. Rambut hitam bergelombangnya yang sebahu dikuncir satu.

     Waktu beranjak siang, dan azan Zhuhur telah berkumandang. Buru-buru aku ke mesjid, menuju lift, turun ke lantai 1, lalu berjalan kaki, kira-kira jaraknya 200 meter. Sehabis sholat lalu mengambil tas di loker, selepas itu pulang
      

2 komentar: