Jumat, 03 April 2015

Gedung Cokelat yang Menjulang ke Langit (catatan perjalanan)

      Kira-kira pukul 09.00 WIB, aku mulai menjalani Honda Supra X-125-ku. Niat hati menuju ke Perpustakaan Nasional. Di awali dengan mengucap, "Bismillahi tawaqaltu a'lallahu lahawla wala quwwata illa billah", si kuda besi mulai melaju pelan, keluar dari Gang Warga, di Pesanggrahan, Jakarta Selatan, tempat kediamanku. Jl.Ulujami Raya aku lewati.
         Sampailah di lampu Merah Perdatam, aku belok ke kanan, kearah Cipulir. Tapi apa yang terjadi? Pasar Cipulir macet parah, antrean panjang segala macam kendaraan tak terelakkan. Bus mayasari Bakti, Metromini, Kopaja, metromini, mobil box, dan lain-lain  berjejer dengan semerawut. Sepeda motor pun harus menunggu lama untuk sekadar merayap, apalagi mobil? Ruas jalan semakin menyusut, karena ada pembangunan jalan Bus Way. Belum lagi gerobak-gerobak yang mengangkut berkodi-kodi pakaian, turut andil menyumbang kemacetan.
      Aku tak mau ambil pusing, itu memang sudah sifatku. Kuambil jalan tikus. Kubelokkan ke kiri sang tunggangan. melewati Jl. Halimah, SMP Negeri 267, atau  anak-anak sekolah menyebutnya "DONAT", yang merupakan singkatan dari Dua Enam Tujuh. Sedikit salah jalan, tapi ketemu juga Jl Swadarma Raya, jalan yang masih menyediakan tempat untuk dokar beroperasi dari jaman kuda gigit besi. 
      Meluncur lurus lalu belok ke kanan, melewati daerah Kebayoran Lama, Permata Hijau, Pejompongan, Dukuh Atas, Terminal dan terowongan Manggarai, Matraman lalu belok kiri. Kantor Kementerian Sosial, berarti aku harus mengendurkan tarikan gas dan siap-siap menekan pedal rem. Karena  di sebelahnya sudah berdiri gedung coklat yang menjulang ke langit, itulah Perpustakaan Nasional.
      Pukul 10.01, aku sudah ada di depan Ruang baca Koran dan majalah di lantai 1. Lalu aku memasukinya dan berjalan ke pojok kiri ruangan, tempat koran-koran berjejer. Kuambil Koran Sindo, , membacanya dengan santai , sambil dielus-elus hawa sejuk AC. Koran tersebut hanya kubaca di berita hiburan dan olahraga saja, sedangkan berita berbau politik aku abaikan  aku memang sejak lama tak tertarik, karena mengulasnya hanya membuat aku sakit kepala.
      Gemuruh hujan terdengar dari ruangan. pukul 12.30 perutku mulai keroncongan, tandanya waktu makan siang sudah menyapa. Kukeluar ruangan, menuju ke pelataran gedung, untuk memastikan, hujan sudah berhenti atau belum? ternyata hujan hanya menyisakan gerimis, dan tak lama pun ia behenti. Rasanya ku sudah bosan di sini, lalu aku menuju tempat parkir motor. Kudapati kuda besiku sudah kuyup. Kuambil lap untuk menyekanya.
      Aku meluncur perlahan, sambil mataku mencari-cari tempat makan yang murah meriah, maklum kantong sedang tipis, hehehe. Ternyata di Jl.Salemba Raya, warung-warung kaki lima tidak kelihatan. Memang minggu-minggu ini di Jakarta banyak penggusuran warung kaki lima oleh Satpol PP. Aku keluar masuk gang di Daerah kenari, "Dimana Warteg-warteg yang dulu ada di sini?", tanya batinku penasaran. Tapi tak kutemukan, yang ada paling-paling Nasi Padang.
         Kuteruskan perjalanan, tibalah aku di Jl. Raden Saleh, melewati hotel-hotel dan kantor-kantor. Tak berapa lama, terdengarlah, "Gedubraak" Suara itu berasal dari motor matic putih  yang ngesot, yang tadi menyalip aku. Sebetulnya sedan hitam di depannya tak mengerem mendadak. Tapi karena melaju kencang di jalan yang basah, si Mio yang ngerem mendadak pun ngesot,  persis 10 cm di belakang sedan mengilat tadi. Tadinya aku mau berhenti, untuk membantu membangunkan sepeda motornya, tapi kan tidak bisa mendadak. Aku pun menepi ... dan posisiku melewati mio putih yang tegeletak tadi. Aku menoleh ke belakang, Tapi penunggang motor matic itu sudah membangunkan kuda besinya. Aku pun menarik gas, dan Supra-X-ku yang sudah hampir berhenti, berjalan lagi.
      Tak lama kemudian, kutemukan warung nasi dekat kantor lamaku, di Jl.Cilosari. Tapi lagi-lagi aku dikagetkan oleh hal-hal yang tak biasa. Warteg langgananku dulu kini telah berubah. Dulu bangunannya semi permanen, tapi sekarang jadi warung tenda sederhana yang nongkrong di atas trotoar. Atapnya terbuat dari terpal biru yang usang, kursinya kursi plastik, mejanya terbuat dari triplek tanpa taplak, kaki mejanya dari kayu yang tak diserut. Di depannya ada gerobak. Sepertinya ini warung darurat, yang kapan pun bisa  dibongkar pasang kalau ada razia. Semuanya memang sudah berubah, orang bilang, "Lain dulu lain sekarang". Dunia pasti berubah.
       Aku makan sepiring nasi, berlaukkan sayur asem, telur dadar, plus tahu goreng berbalut tepung. Setelah kenyang, aku berjalan ke pemilik warung, berapa bu?", tanyaku". "Pake apa?" sang ibu warung balik bertanya. "Pake sayur asem, telor dadar, tahu goreng". "Lapan ribu mas!", jawabnya. "Makasih bu".  Lalu kutunjuk gedung hijau, sepertinya sebuah madrasah. Karena lupa, untuk meyakinkan diri aku bertanya, "Di belakang ini masjid  ya bu". " Iya, motornya bawa aja mas, parkirnya di depan masjid". "Makasih ya bu"  "Ya", si ibu warung mengangguk pelan.
        Setelah sholat. membaca Al Quran sebentar, lalu merebahkan diri  di saff belakang. Mesjid ini mesjid terbuka. Maksudnya tanpa jendela, tanpa daun pintu... hanya di batasi sepotong triplek, temboknya cuma setinggi 1 meter. Aku menikmati angin yang berhembus dari kipas angin di internit.  Sambil rebahan, aku memfoto bagian dalam mesjid. Setelah puas beristirahat, aku pun melangkah pulang.

The End
         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar