Minggu, 29 Juni 2014

Putri Keikhlasan (cerpen)

     Aku adalah putri ke-5 dari 9 bersaudara. Namaku Marni, lengkapnya Sumarni. Aku dilahirkan di sebuah kampung kecil di pinggir kali, bernama Susukan, Cirebon, 48 tahun silam. Ibuku adalah seorang janda yang ditinggal mati suaminya ketika jaman revolusi fisik dulu. Suatu beban yang sangat berat yang aku alami. Seorang bocah perempuan yang tak mengenal ayahnya sejak usia dini.
      Wajahku sebenarnya tidak jelek, cuma ada lubang-lubang bekas cacar menghiasi hampir seluruh wajahku. Konon kata ibuku, aku dimandikan waktu aku menderita cacar air sewaktu kecil, sehingga jadilah bekas-bekas cacar itu sebagai lubang-lubang permanen seumur hidupku.  Tapi bukan berarti aku minder, biasa saja. Buktinya saat dewasa banyak pria mendekati aku, dan menawarkan cintanya buatku.
    Penghasilan ibuku didapat dari uang pensiunan ayah yang tak seberapa, karena pangkat terakhirnya hanya seorang kopral polisi.Maka dari itu, ke empat kakak-kakakku semuanya bekerja mati-matian demi menopang kebutuhan keluarga yang notabene KB (Keluarga Besar). Kakakku yang pertama telah menikah dan diboyong suaminya ke Bengkulu. Kakakku yang  kedua, jadi pembuat celengan bersama suaminya, di suatu kampung bernama Posong,  masih di daerah Cirebon. Kakak lelakiku, yang nomor tiga, jadi pembuat kompor minyak di daerah Pulo Gadung, Jakarta. Dan kakakku yang nomor empat, bekerja sebagai buruh di pabrik minuman botol, juga di Jakarta.
    Perlukah  aku ceritakan? kami sekeluarga pernah berhari-hari berlaukkan minyak jelantah yang diaduk-aduk bersama nasi putih. karena stok ikan asin kami telah habis beberapa hari sebelumnya. Kami juga sering makan hanya dengan berbumbu garam. Tak heran, jika suatu hari nanti penyakit resmi keluarga kami adalah darah tinggi, atau orang kota menyebutnya hipertensi.
      Setelah usiaku sekitar 14 tahun, dan adik tertuaku 12 tahun, kami membuat batu bata, mengikuti profesi orang-orang sekampung kami. Lumayan untuk membantu ibu dan biaya adik-adik sekolah. Aku beserta adik tertuaku, merelakan diri untuk mengakhiri pendidikan kami sampai kelas 2 SMP. 
       Di tahun 80-an, untuk mencoba peruntungan, aku, ibu dan tiga adikku merantau ke Sumetera selatan. Kami ikut program transmigrasi, yang waktu itu sedang genar-gencarnya dipropagandakan pemerintah. Untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa, katanya.
       Di lokasi transmigrasi, kami menempati rumah jatah, buatan ABRI masuk desa. Istana kami saat itu, berdinding papan, beratapkan seng, dan berlantai tanah lembab. Kami mengolah lahan kosong sekitar 2 hektar untuk ditanami bibit karet. Lahan tak bisa langsung ditanami, karena kami harus membersihkan dulu akar-akar besar yang masih melintang, dan menggemburkan tanah yang akan ditanami.
       Mungkin sekitar 2 tahun, kami mengolah kebun karet, hingga bisa dinikmati hasilnya. Setelah itu pekerjaanku kalau pagi adalah sebagai penyadap karet, kalau sore bekerja di ladang belakang rumah, menanam palawija. Perjalanan ke kebun karet bisa ditempuh dalam waktu setengah jam, dengan menaiki sepeda ontel. Adik-adiku berangkat sekolah dengan berjalan kaki, jarak dari rumah ke sekolah kira-kira 5 km.
        Sebenarnya kehidupan selama 7 tahun di perantauan lumayan. Makan tidak kekurangan, rumah ada, ladang punya, kebun karet pun kami miliki. Tapi tetap saja ibu tak betah, kangen tinggal di kampung. Mungkin di sini sepi, saudara pun tak sebanyak di kampung, kemana-mana jauh.  Akhirnya ibu memutuskan untuk pulang kampung. Kami sebagai anaknya hanya bisa menurut. Aset yang kami miliki  di jual, seperti rumah, ladang dan kebun karet, hasil penjualannya untuk membeli rumah mungil di Cirebon.
       Akhirnya kami kembali ke Cirebon, dengan menggunakan kapal laut sampai Merak, lalu disambung dengan kereta Api sampai Jakarta. Beberapa hari menginap di rumah saudara, di Tebet.  Lalu kami naik Kereta Gunung Jati menuju Kota Udang.
        Kehidupan di Cirebon, ya begitu-gitu saja, tak ada kemajuan yang berarti. Bahkan bisa dibilang kemunduran, dari kehidupan kami selama menjadi transmigran di Sumatera Selatan. Prihatin, itulah satu kata untuk keadaan keluarga kami. Karena lebih besar pasak dari pada tiang, lebih besar pengeluaran dibanding penghasilan. Akhirnya aku merantau lagi, tapi ke Jakarta, sendirian, menjadi seorang babu.
        Dua tahun kemudian, nasib menyergapku tanpa ampun. Hingga aku layak dilebeli tanda kehormatan, yaitu TKW (Tenaga Kerja Wanita). Untuk tugas mulia sebagai pejuang keluarga. Menuju medan perang Arab Saudi. Aku menyeberangi samudera untuk mengumpulkan pundi-pundi real, karena menjadi jongos di negeri sendiri upahnya sangat minim. Cuma dibayar seperak dua perak rupiah, plus makan di tempat majikan, dan jatah kamar tidur sempit di samping dapur.

         
                                                                     ***

      Lima tahun sudah berlalu, karena kontrak telah usai. Aku tinggal lagi di negeri ini.  Setelah Aku berhasil membeli sebidang tanah, untuk masa depanku kelak. Setelah semua kebutuhan keluarga aku penuhi, lewat kiriman-kiriman gajiku dari Saudi setiap 3 bulan sekali. Setelah itu uangku semakin hari semakin menyusut, untuk kebutuhan rumah tangga, biaya sekolah adik-adik yang waktu itu masih terbilang mahal.
        Status lajangku tak aku perhatikan, meski aku telah berumur 27 tahun, usia tua untuk seorang perawan kampung. Yang ada di pikiranku saat itu adalah kembali menyeberangi lautan menuju negeri timur tengah. Kali ini tujuannya adalah Qatar, negeri makmur di jazirah Arabia.
           Alhamdulilah majikanku di Qatar baik, mereka sering memberiku bonus, baik uang, pakaian-pakaian yang bagus, makanan-makanan enak, atau peralatan ibadah yang harganya wah. Bahkan aku diberi kesempatan cuti untuk menunaikan ibadah haji. Nasibku memang tidak seperti nasib teman-temanku seperjuangan jadi TKW. Banyak dari mereka disiksa dan diperkosa.
         Waktu memang begitu cepat, melecut seperti kilat. Masa enak di Qatar telah lewat. aku kemabali lagi ke Desa Susukan. Seperti kebanyakan orang-orang di kampung, kalau sudah sekali kerja keluar negeri, pasti akan keranjingan. Pasti akan ketagihan, kesana lagi, kesana lagi, dan kesana lagi, karena upahnya yang tinggi.
         Setelah itu keberangkatanku yang ketiga adalah ke Emirat Arab, yang keempat ke Yordania.                     
               
Bersambung...                              
            

1 komentar:

  1. keren brooo..., jangan patah semangat, in syaa allah ada jalan sukses yang menanti
    ditunggu sambungan cerpennya :)

    BalasHapus